Sabtu, 12 Desember 2020

Makalah Nasikh dan Mansukh

 BAB I

PENDAHULUAN

 

      A.    Latar Belakang

Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, ia meninggalkan dua kitab yang akan menjadi pedoman manusia hidup di dunia agar tidak tersesat yaitu Al-qur’an dan Al-hadits. Allah juga menurunkan syariat samawiyah kepada para utusan-Nya untuk memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah dan muamalah. Tentang bidang ibadah dan mu’amalah memilki prinsip yang sama yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat. Tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Disamping itu, perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalannya sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Dengan demikian hikmah tasyri’ (pemberlakuan hukum) pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri’ pada periode yang lain.Oleh sebab itu, wajarlah jika Allah menghapuskan sesuatu syari’at dengan syari’at lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuanNya yang azali tentang yang pertama dan yang terkemudian.

 

      B. Rumusan Masalah

            1.      Apa pengertian Nasikh dan Mansukh ?

      2.      Apa saja klasifikasi Nasikh dan Mansukh?

      3.      Apa perbedaan antara Nasikh dan Mansukh?

      4.      Apa fungsi memahami Nasikh Mansukh?

            5.      Ada beberapa pendapat  tentang Nasikh dan Mansukh?


C. Tujuan Penulisan    

            1.     Untuk mengetahui pengertian Nasikh dan Mansukh .    

      2.      Untuk mengetahui pembagian klasifikasi Nasikh dan Mansukh

      3.      Agar bisa membedakan antara Nasikh dan Mansukh

      4.      Agar bisa mengetahui dan memahami fungsi Nasikh dan Mansukh

     5.  Agar dapat mengetahui beberapa pendapat tentang nasikh dan mansukh

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Nasikh dan Mansukh

Secara bahasa nasikh adalah menghapus, sedangkan mansukh adalah yang dihapus. Dengan demikian ada hal yang terkait yakni nasikh dan mansuk.

            Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan nasikh adalah menghapuskan suatu ketentuan hukum syara ’dengan dalil syara’ yang datangnya kemudian. Atau lebih jelasnya nasikh adalah menghapus / membatalkan berlakunya sesuatu hukum syara’ yang telah ada oleh hukum syara’ yang datang kemudian. Sedangkan mansukh adalah sesuatu ketentuan hukun syara’ yang dihapuskan oleh hukum yang datang kemudian itu. Jadi nasikh berarti menghapus sedangkan mansukh berarti dihapus. 

                  

     B. Klasifikasi Nasikh dan Mansukh

1.     Naskh Al-qur’an dengan Al-qur’an(Naskhul Qur’aani bil Qur’aani)

Bagian ini dsiepakati kebolehannyaa dan telah terjadi di dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh. Misalnya, ayat tentang ‘iddah empat bulan sepuluh hari.

2.     Naskh Al-qur’an dengan As-Sunnah(Naskhul Qur’aani bis Sunnati)

Naskh ini ada dua macam:

a.      Naskh Al-qur’an dengan hadits ahad. Jumhur berpendapat, Al-qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab Al-qur’an adalah mutawattir dan menunjukkan keyakinan, sedang hadits ahad itu zhanni, bersifat dugaan, disamping tidak sah pula menghapusakan sesuatu yang maklum (jelas diketahui) dengan yang mazhnun (diduga).

b.     Naskh Al-qur’an dengan hadits mutawattir. Naskh senacam ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman:

                 Artinya: “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.  Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm 3-4)

Dalam pada itu Asy-syafi’i, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah,

                 Artinya: Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS. Al-Baqarah:106)

     Sedang hadits tidak lebih baik dari atau sebanding dengan Al-qur’an.

       

           c.       Naskh sunah dengan Al-qur’an(Naskhus Sunnah bil Qur’aani)

   Naskh ini menghapuskan hukum yang ditetapkan berdasarkan sunnah diganti dengan hukum yang didasarkan dengan Al-qur’an. Naskh jenis ini diperbolehkan oleh jumhur Ulama’. Contohnnya seperti berpuasa wajib pada hari Asy-Syura yang ditetapkan berdasarkan sunnah juga dinasakh firman Allah:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

                Artinya: “Maka barang siapa menyaksikan bulan Ramadlan hendaklah ia berpuasa.” (QS. Al-Baqarah:185)[1]

Maksudnya, semula berpuasa hari Asy-Syura itu wajib, tetapi setelah turun ayat yang mewajibkan puasa pada bulan Ramadlan, maka puasa pada hari Asyura itu tidak wajib lagi, sehingga ada orang yang berpuasa dan ada yang tidak.

            d.      Nasikh sunah dengan sunah(Naskhus Sunnah bis Sunnah)

Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau menasakh keduanya, maka pendapat yang shohih tidak membolehkannya.

 

      C. Perbedaan antara Nasikh dan Mansukh

Adat Naskh adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada. Nasikh yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya Nasikh itu berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat hukum dan Dia pulalah yang menghapusnya.

Sedangkan Mansukh adalah hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan. Dan Mansukh ‘anh yaitu orang yang dibebani hukum.

      D. Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh

Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh diantaranya sebagai berikut:

       a.   Memelihara kepentingan hamba

       b.   Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia

       c.    Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak

       d.    Menghendaki  kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika Nasikh itu  beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih kehal yang mengandung kemudahan dan keringanan.[3]

Pengetaguan yang benar terhadap teks yang nasikh dan yang mansukh, disamping dapat membantu seseorang di dalam memahami konteks diturunkannya sebuah teks,juga dapat mengetahui bagian mana teks al-Qur’an yang turun lebih dahulu dan yang turun kemudian.Disisi lain, pengetahuan terhadap fenomena ini juga akan memperteguh kekayaan kita bahwa sumber Al-Qur’an yang hakiki adalah Allah. Sebab Dialah yang menghapuskan sesuatu dan menetapkan yang lainnya menurtut kehendakNya dan kekuasaaNya tidak dapat diintervensi oleh kekuatan apapun.[4]

      E. Pendapat tentang Nasikh dan Mansukh dan ketetapannya

Dalam masalah Naskh, para Ulama terbagi atas empat golongan:

      a.       Orang Yahudi. Mereka tidak mangakui adanya Naskh, karena menurutnya, Naskh mengandung konsep al-bada’, yakni Nampak jelas setelah kabur (tidak jelas). Yang dimaksud mereka ialah, Naskh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya Karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun mustahilbagi-Nya.

Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing hikmah Nasikh dan Mansukh telah diketahui Allah lebih dahulu. Jadi pengetahuannya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru muncul. Ia membawa hamba-hamba-Nya dari satu hokum ke hukum yang lain adalah karena suatu maslahat yang telah diketahui-Nya jauh sebelum itu, sesuai dengan hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolut terhadap segala milik-Nya.

Orang Yahudi sendiri mengakui bahwa syari’at Musa menghapuskan syari’at sebelumnya. Dan dalam nas-nas Taurat pun terdapat Naskh, sepert pengharaman sebagian binatang atas Bani Israil yang semula dihalalkan. Berkenaan dengan mereka Allah berfirman:

فَ

“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’kub) untuk dirinya sendiri.” (QS. Ali Imran [3]:93)[5]

Ditegaskan dalam Taurat, bahwa Adam menikah dengan saudara perempuannya. Tetapi kemudian Allah mengharamkan pernikahan dengan demikian atas Musa, dan Musa memerintahkan Bani Israil agar membunuh siapa saja di antara mereka yang menyembah patung anak sapi namun kemudian perintah in idicabut kembali.

      b.      Orang Syi’ah Rafidah, mereka sangat berlebihan dalam menetapkan Naskh dan meluaskannya. Mereka memandang konsep al-bada’ sebagai suatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang Yahudi. Untuk mendukung pendapatnya itu mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali r.a.secara dusta dan palsu. Juga dengan firman Allah:

يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَاب

               Artinya: “Allah menghapuskan apa yang ia kehendaki dan menetapkan (apa yang ia kehendaki).” (ar-Ra’d [13]:39) dengan pengertian bahwa Allah siap untuk menghapuskan dan menetapkan.

        Paham demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan terhadap Qur’an. Sebab makna ayat tersebut adalah: Allah menghapuskan segala sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika penetapannya mengandung maslahat. Disamping itu penghapusan dan penetapan terjadi dalam banyak hal, misalnya menghapuskan keburukan dengan kebaikan.

      c.       Abu Muslim al-Asfahani. Menurutnya, secara logika Naskh dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara’. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi Naskh dalam Al-Qur’an.

Pendapat Abu Muslim ini tidak dapat diterima, karena makna ayat tersebut ialah, bahwa Qur’an tidak didahului oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu yang membatalkannya.

      d.      Jumhur Ulama. Mereka berpendapat Naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:

      1.      Perbuatan-perbuatan Allah tidak tergantung padahal alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.

      2.      Nas-nas kitab dan Sunah menunjukkan kebolehan Naskh dan terjadinya. Antara lain:

      a)      Firman Allah:

“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempa ayat yang lain…” (QS.An-Nahl [16]:101)

      b)      Dalam sebuah hadist shahih, dari Ibn Abbas r.a., umar r.a.berkata : ”Yang paling paham dan paling menguasai Qur’an diantara kami adalah Ubai. Namun demikian kami pun meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia mengatakan: “Aku tidak akan meninggalkan sedikit pun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah SAW, padahal Allah telah berfirman: Apa saja ayat yang Kami Naskhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya…” (Al-Baqarah [2]:106)[6]


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Nasikh ialah menghapuskan hukum syara’ dengan dalil hokum syara’ yang lain. Disebutkan kata “hukum” disisni, menunjukkan bahwa prinsip “segala sesuatu hokum asalnya boleh”. Sedangkan Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Nasikh terdapat empat macam bagian, diantaranya:

1.     Naskh Al-qur’an dengan Al-qur’an

2.     Naskh Al-qur’an dengan As-sunnah

3.     Naskh As-sunnah dengan Al-qur’an

4.     Naskh As-sunnah dengan As-sunnah

     Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh diantaranya sebagai berikut:

1.     Memelihara kepentingan hamba

2.     Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia

3.     Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak

4.     Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika Nasikh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang kebihringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.

Jumhur Ulama. Mereka berpendapat Naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:

1.      Perbuatan-perbuatan Allah tidak tergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.

2.      Nas-nas kitab dan Sunah menunjukkan kebolehan Naskh dan terjadinya.yaitu Firman Allah:

“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempa ayat yang lain…” (QS.An-Nahl [16]:101)

Dalam sebuah hadist shahih, dari Ibn Abbas r.a., umar r.a.berkata : ”Yang paling paham dan paling menguasai Qur’an diantara kami adalah Ubai. Namun demikian kami pun meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia mengatakan: “Aku tidak akan meninggalkan sedikit pun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah SAW, padahal Allah telah berfirman: Apa saja ayat yang Kami Naskhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya…” (Al-Baqarah [2]:106)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


DAFTAR PUSTAKA


Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Pustaka Litera Antar Nusa, Jakarta:

            2001.

Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung: 2001.

Rosihon Anwar,  Ulum Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung: 2000.

http://muslim.or.id/tafsir/tafsir-surat-al-baqarah-185.html.

http://saifuddinasm.com/2013/01/23/ali-imran93-94-batalnya-yahudi-yang-mengharamkan-makanan/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar